LITERASI BUDAYA: PELESTARIAN CAGAR BUDAYA FISIK SEBAGAI WARISAN BUDAYA

Di tengah perubahan dunia yang begitu cepat, masyarakat membutuhkan literasi budaya dan kewargaan agar dapat mempertahankan identitas diri. 


                   
(Foto: Mesjid Agung Demak Sebagai Warisan Cagar Budaya Islam)

Sejak munculnya peradaban manusia, budaya baca tulis sebenarnya sudah ada. Membaca, dan menulis adalah cara manusia berkomunikasi, tentunya disesuaikan dengan situasi, kondisi, dan zamannya. Bukti peradaban manusia juga tercatat pada prasasti, tulisan-tulisan di dinding gua, kitab, atau lembaran-lembaran kulit binatang. Dan hanya profesi tertentu seperti arkeolog atau ahli sejarah yang bisa membacanya.

Peradaban manusia yang terus berkembang juga berpengaruh terhadap budaya baca dan tulis. Oleh karena itu, manusia memiliki budaya dan bahasa masing-masing. Indonesia juga merupakan negara yang majemuk memiliki ribuan suku bangsa dan bahasa. Walau demikian, bangsa Indonesia memiliki bahasa pemersatu, yaitu bahasa Indonesia.

Di kalangan umat Islam pun, literasi sebenarnya bukan barang baru. Wahyu pertama yang disampaikan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW adalah perintah membaca, iqra! Supaya manusia menjadi manusia yang melek ilmu pengetahuan dan berbudaya. Membaca bukan hanya dalam konteks membaca firman-firman Allah secara tekstual sebagaimana yang tercantum pada Al Quran, tetapi juga membaca ayat-ayat- kontekstual, seperti tanda-tanda atau fenomena alam, dan perilaku manusa dalam kehidupan sehari-hari. Ayat-ayat tekstual yang tercantum dalam Al-Quran perlu diaktualisasikan. Misalnya, perintah Allah untuk menyantuni fakir miskin dan anak yatim diaktualisasikan dengan dengan menyantuni dan melindunginya. Perintah untuk jadi pemimpin yang amanah diaktualisasikan dengan tidak korupsi. Larangan berbuat kerusakan di muka bumi diaktualisasikan dengan membuang sampah pada tempatnya, menanam pohon, menjaga dan memelihara alam dan lingkungan.

Pelestarian Cagar Budaya Fisik Sebagai Warisan Budaya 

Beragam wujud warisan budaya memberi kita kesempatan untuk mempelajari nilai kearifan budaya dalam mengatasi masalah-masalah yang dihadapi di masa lalu. Hanya saja nilai kearifan budaya tersebut seringkali diabaikan, dianggap tidak ada relevansinya dengan masa sekarang apalagi masa depan. Akibatnya adalah banyak warisan budaya yang lapuk dimakan usia, terlantar, terabaikan bahkan dilecehkan keberadaannya. Padahal banyak bangsa yang kurang kuat sejarahnya justru mencari-cari jati diri tinggalan sejarah dan warisan budayanya yang sedikit jumlahnya. 

Kita sendiri bangsa Indonesia, yang kaya dengan warisan budaya justru mengabaikan aset yang tidak ternilai tersebut. Sungguh kondisi yang kontradiktif. Kita sebagai bangsa dengan jejak perjalanan sejarah yang panjang sehingga kaya dengan keanekaragaman budaya lokal seharusnya mati-matian melestarikan warisan budaya yang sampai kepada kita. Melestarikan tidak berarti membuat sesuatu menjadi awet dan tidak mungkin punah. Melestarikan berarti memelihara untuk waktu yang sangat lama. Jadi upaya pelestarian warisan budaya berarti upaya memelihara warisan budaya tersebut untuk waktu yang sangat lama. Karena upaya pelestarian merupakan upaya memelihara untuk waktu yang sangat lama maka perlu dikembangkan pelestarian sebagai upaya yang berkelanjutan, bukan pelestarian yang hanya mode atau kepentingan sesaat, berbasis proyek, berbasis donor dan elitis (tanpa akar yang kuat di masyarakat).

Mengenali literasi ini adalah sebuah cermin kebudayaan. Dengan kata lain, manusia yang melek literasi bisa dikatakan sebagai manusia berbudaya. Selain itu, literasi juga bisa dijadikan sebagai sarana menyebarluaskan dan menjaga budaya. 


Ada lomba menulis, mari ikuti! Untuk keterangan jelasnya bisa dilihat di poster yaa **


Komentar

Postingan Populer