KEMBALI
Diam dan berjudi dengan waktu sudah menjadi sebuah kebiasaan baru. Ditemani dengan secarik kertas dan pena aku menulis untuk menyalakan rindu dengan kau sebagai tungku. Sebuah kehangatan menetes, kemudian menyerap bersama pedih yang timbul setelahnya.
Aku tak ingat. Entah sudah kali keberapa pesan yang ku kirimkan padamu tertinggal tanpa sebuah balasan.
Gemeletuk bara api menyadarkanku bahwa bayangmu semakin memudar. Kehadiranmu singkat, seperti bias warna pelangi yang muncul sesaat namun meninggalkan kesan.
Setelahnya, mendung akan datang, menyelimuti setiap jengkal langit. Tanpa segan aku berkawan dengannya, yang membuatku belajar, agar duka kehilanganmu dapat lepas menjadi rintik hujan hingga tak ada lagi yang terkurung diantara debar dan sesak.
Perjudian dengan waktu itu akan memeluk kembali realita,
Mencampakan harapan yang menari-nari,
Kau benar,
Kepergianmu meninggalkan sakit sementara.
Kau benar,
Luka yang kau tinggalkan hanya sebercak saja.
Tetapi,
Aku melupakan kenyataan,
Kehilanganmu membuat awan merapuh,
Kepergianmu membuat rinai hujan menderas,
Tiap-tiap jejak yang kau ambil membuat matahari bersembunyi.
Mengapa kau harus melangkah pergi?
Bukankah jarakmu sudah terlampau jauh?
Kau tak perlu menghapus segalanya, aku tahu caranya berjalan mundur.
Kau tak perlu khawatir, aku akan cepat-cepat menghilangkan bayangmu bersama buih.
Mungkin, di suatu sore, aku akan pahami bagaimana tuhan meneteskan tinta merah pada kanvas raksasa, membuat atap langit memerah nanar.
Dan ia namakan itu senja.
Senja yang akan kembali esok hari, setelah pada hari ini tugasnya dalam mewarnai langit telah selesai.
Namun, tidak denganmu.
Kau tak akan kembali.
Disitulah aku perlahan mulai menikmati, eloknya sebuah penantian dan indahnya diabaikan.
Walaupun begitu, tenang saja,
Masih ada ruang di sela-sela bulir darahku,
Untuk tempat kau mengalir, berpindah dari tiap-tiap bilik jantungku, sapalah setiap sel tubuhku.
Tenang saja,
Kau boleh mengetuk pintuku sekali lagi,
Diantara celah tirai jendela yang melambai,
Diantara tetesan air keran yang tak tertutup rapat,
Tenang saja,
Aku tak akan menyesap cangkir kopiku,
Aku tak akan meneguknya hingga kau kembali, tanpa seberkas peduli tentang kopi yang mendingin sedari kepergianmu.
Akan ku tunggu pagi menjelang,
Saat ku kagumi sang mentari yang tak lupakan janjinya pada bumi.
Akan ku tunggu pagi menjelang,
Saat ku jahit luka yang kau tinggalkan secara bijaksana.
Akan ku tunggu pagi menjelang,
Saat ku temukan jejakmu diantara basahnya rerumputan, dinginnya bayangmu serupa embun yang mengetuk pelupuk mata.
Menjadikan tiap butirnya mengalir dalam berbagai perangkai kecemasan.
Akan ku tunggu pagi menjelang,
Saat aku tak henti mendambamu dintara sunyi, lambai daun, dan kepedihan yang menetes diantara serpihan kerinduan, layaknya denyut jam yang terlalu lamban menghampiri fajar.
Akan ku tunggu pagi menjelang,
Hingga kau sadari, bahwa sampai akhir ini, kaulah yang bertanggung jawab atas air mata dan senyumku.
Yang merindukan,
Aku.
Komentar
Posting Komentar